Cari Blog Ini

Laman

Sabtu, 14 Agustus 2010

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Ada sebuah hadits yang
menjelaskan bahwa yang pertama kali di-hisab dari seorang hamba adalah
shalatnya, jika baik shalatnya maka baik pula seluruh amalannya, dan jika
rusak shalatnya maka rusaklah seluruh amalannya. Apakah dapat dipahami dari
hadits di atas bahwa orang yang tidak shalat karena malas, telah kafir
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ?"

Jawaban.
Saya tidak sependapat bahwa maksud dari kata "kufur" dalam hadits di atas
adalah kafir keluar dari Islam. Karena belum tentu lafal kafir dalam
Al-Qur'an dan hadits berarti kafir yang keluar dari Islam.

Karena kekafiran itu dibagi menjadi :

[1]. Kufr i'tiqadi (kufur dalam hal keyakinan)
[2]. Kufr amaliy (kufur secara amalan)

Dan mungkin juga kufur itu terbagi atas :

[1]. Kufr qalbiy (kufur hati)
[2]. Kufr lafdziy (kufur dalam lafal)

Terdapat banyak hadits-hadits yang menjelaskan, bahwa orang yang
meninggalkan shalat maka ia telah kafir. Akan tetapi kami berpendapat bahwa
orang yang meninggalkan shalat karena malas tetapi dia tetap mempercayai
tentang wajibnya shalat, serta mengakui kekurangannya dalam hal meninggalkan
shalat, akan tetapi karena ia mengikuti hawa nafsunya, mengkitu syaithan,
mengikuti kesibukannya, dan tidak menganggap bahwa meninggalkan shalat itu
boleh dan tidak pula menentang wajibnya shalat maka ia adalah orang yang
beriman kepada wajibnya shalat walaupun hanya dengan hati tetapi tidak
beramal sesuai dengan apa yang ia 'imani'. Ketika ia meninggalkan shalat
berarti ia telah berserikat bersama-sama orang kafir dalam perbuatan ini.
Dan kami mengatakan bahwa perbuatannya tersebut adalah perbuatan orang-orang
kafir. Dan ini sama dengan orang-orang yang mengimani haramnya zina tetapi
ia berzina, atau mengimani haramnya mencuri tetapi ia tetap mencuri, dan
seterusnya.

Akan tetapi jika orang yang meninggalkan shalat tadi telah berkata seperti
perkataan sebagian pemuda yang mendapat pendidikan modern bahwa shalat itu
telah kuno dan ketinggalan zaman, maka ia sungguh telah keluar dari dien
(agama) secara keseluruhan.

Dan sebagai patokan dalam hal ini adalah kita harus memandang bahwa Islam
merupakan keyakinan dan amalan. Keyakinan adalah asal (pokok), sedangkan
amalan mengikuti yang pokok.

Karena itu kami katakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas
dan tetap meyakini wajibnya, maka kekafirannya adalah kekafiran secara
amalan (Kufr Amaliy), dan bukan Kufr I'tiqadi yang menyebabkan seseorang
keluar dari dari Islam.

Telah terjadi perselisihan di antara para ulama dalam masalah ini. Imam Abu
Hanifah memandang bahwa orang yan meninggalkan shalat (karena malas), harus
dipenjara sampai ia bertobat atau sampai ia meninggal dunia.

Imam As-Syafi'i dan beberapa imam lainnya memandang orang ini diperintahkan
untuk shalat dahulu. Jika ia bertaubat (maka tidak ada satu hukumanpun
baginya, -pent-) dan jika tidak mau bertaubat maka ia dibunuh, sebagai hadd
(hukuman) baginya, dan ini bukan dia telah kafir, dan ia dikuburkan di
pekuburan kaum muslimin.

Dan sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa ia dibunuh karena dia telah kafir,
bukan sebagai hadd (hukuman).

Pada hakekatnya, orang yang meninggalkan shalat ini jika dibawa ke tempat
pemenggalan kepala dan diperlihatkan pedang, lalu dikatakan padanya :
"Silahkan memilih ; bertaubat dan shalat atau kami akan membunuhmua !"
Kemudian ia lebih memilih dibunuh daripada bertaubat, maka tidak mungkin
terbayangkan selamanya bahwa ia mati sebagai seorang muslim. Bahkan ia
adalah seorang kafir. Kafir dalam keyakinan ; jika tidak bagaimana mungkin
ia lebih memilih kematian daripada bertaubat.

Adapun tentang hadits yang disebutkan pada soal di atas, maka saya memahami
darinya bahwa amalan-amalan (orang yang rusak shalatnya -pent-) tidak akan
diterima.

[Fatwa-Fatwa Albani, hal 17-19 Pustaka At-Tauhid]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar